Dilema Kepala Sekolah Melawan Intimidasi, Kebaikan yang Terancam.
![]() |
| Daruratt Pendidikan |
Di balik gerbang kokoh yang seharusnya menjadi benteng ilmu dan akhlak, kini tersembunyi sebuah drama memilukan. Sekolah, tempat kita menanamkan benih-benih kebaikan, kejujuran, dan integritas, justru menjadi panggung bagi intrik dan intimidasi. Inilah dilema pahit yang mencekik para pemimpin pendidikan kita, para Kepala Sekolah (KS) dan Guru.
Mereka, para pendidik yang berjuang membentuk masa depan bangsa, kini harus berhadapan dengan sekelompok oknum yang datang bukan untuk bersinergi, melainkan untuk menabur ketakutan. Mereka datang bergerombol, mengatasnamakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), profesi jurnalis yang mulia, bahkan tak jarang menyeret nama Aparat Penegak Hukum (APH), seolah otoritas keadilan berada di tangan mereka.
Betapa dilematisnya posisi seorang Kepala Sekolah. Di satu sisi, hati nuraninya berteriak bahwa sekolah adalah 'Zona Suci' yang harus steril dari kepentingan transaksional dan kejahatan moral. Mereka ingin melindungi guru dan siswa dari aura negatif, memastikan proses belajar mengajar berjalan dalam ketenangan, sebagaimana mestinya.
Namun, di sisi lain, bayangan ancaman itu begitu nyata. Intimidasi verbal, sikap petantang-petenteng, ancaman untuk "diangkat", "diberitakan", atau "dilaporkan" seolah menjadi mantra yang melumpuhkan.
Mayoritas Kepala Sekolah memilih jalan sunyi yang menyakitkan, menuruti kemauan oknum pemeras. Mereka terpaksa merogoh kocek yang seharusnya dialokasikan untuk perbaikan sarana atau program siswa, demi membeli ketenangan sesaat, demi menghindari kehebohan yang akan mencoreng nama baik sekolah dan mengganggu psikologis para guru dan murid.
Keputusan ini bukanlah tanda kelemahan, melainkan refleksi dari rasa takut yang mendalam terhadap konsekuensi yang tidak adil dan proses hukum yang melelahkan, terutama ketika yang datang membawa embel-embel hukum dan media.
Sekolah, Harus Menjadi Benteng Kebaikan
Kita tidak boleh membiarkan ini berlanjut. Sekolah adalah laboratorium moral bangsa. Jika lingkungan inti pendidikan sudah tidak lagi aman dan nyaman, bagaimana kita bisa mengharapkan lahirnya generasi yang berintegritas dan berkualitas?
Para pendidik harus dibekali keberanian dan pengetahuan hukum yang memadai. Mereka harus tahu batasan tugas dan peran LSM/Wartawan/APH yang sesungguhnya. Mereka harus berani menolak intimidasi dengan prosedur yang jelas dan terdokumentasi.
Pintu gerbang sekolah harus memiliki 'filter' yang kuat. Guru dan staf harus dilatih untuk menerima tamu sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP), mencatat identitas, tujuan kunjungan, dan memastikan semua berjalan secara transparan dan etis. Tujuan pendidikan harus menjadi prioritas di atas segalanya.
Kepala Sekolah dan Guru tidak boleh dibiarkan sendirian. Pemerintah Daerah, Dinas Pendidikan, dan Aparat Penegak Hukum yang berintegritas harus menjadi pelindung sejati bagi sekolah. Segala bentuk pemerasan dan intimidasi harus ditindak tegas, memberikan sinyal yang jelas bahwa sekolah adalah zona terlarang bagi para pemburu kesalahan berkedok kontrol sosial.
Marilah kita jaga marwah pendidikan kita. Sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak, tempat mereka tumbuh tanpa rasa takut. Mari kita bebaskan para Kepala Sekolah dari dilema antara perasaan tulus mengabdi dan ancaman kotor pemerasan.
Jiwa pendidikan Indonesia menanti digugah. Waktunya para pahlawan di sekolah berdiri tegak, dan waktu bagi kita semua untuk berdiri di belakang mereka, demi kualitas pendidikan yang sejati.
Keyakinan pada Allah SWT sebagai benteng terkuat Kita. Di tengah kepungan oknum pemeras, angkat kepala dan kokohkan hati. Ingatlah janji Allah, Dia tidak akan menyia-nyiakan upaya hamba-Nya yang berdiri di atas kebenaran. Ketika niat mendidik tulus karena-Nya, segala intimidasi hanyalah buih. Tegakkan kehormatan pendidikan dengan keberanian, karena pertolongan Allah amat dekat.
Penulis :
Dr. H. Rusdan, S.Pd.,S.H.,MM.Pd.

Tidak ada komentar