Menyoal Anxiety Disorder Bagi Mahasiswa Semester Satu
Raisa Putri Listiawati |
Penulis: Raisa Putri Listiawati
(Penulis adalah Mahasiswa UPI Bandung Jurusan Bimbingan Konseling)
Tingkat gangguan kecemasan remaja di Indonesia meningkat drastis sejak pandemi covid-19. Sebuah data membuktikan bahwa persentase kasus gangguan kecemasan adalah suatu perasaan takut yang terjadi tanpa adanya sebuah alasan yang pasti dan tidak didukung oleh situasi individu. Kecemasan terjadi ketika individu merasa tidak nyaman atau memiliki firasat buruk pada suatu hal yang akan terjadi kepada dirinya maupun orang sekitarnya, padahal ia tidak memahami mengapa emosi atau perasaan yang mengancap itu bisa terjadi (Amir, N; dalam Diferiansyah, O., dkk, 2016).
Sedangkan dilihat dari sudut pandang biasa, gangguan kecemasan (anxiety disorder) ini seperti bukan penyakit yang perlu dikhawatirkan karena orang luar bahkan keluarga sendiripun tidak akan menyadarinya, namun hanya diri sendirilah yang mengetahui dan mengeri rasa sakitnya. Bahkan ada kasus dimana penderita gangguan kecemasan merasa terisolir karena tidak bisa bertemu dengan orang lain, mereka hanya bisa mengurung dirinya di rumah tanpa melakukan aktivitas apapun dan samar-samar akan tumbuh perasaan tidak berdaya didalam diri penderita yang timbul dari dampak buruk gangguan kecemasan.
Gangguan kecemasan merupakan suatu kumpulan perasaan yang memberikan gambaran penting tentang kecemasan yang berlebihan, hal ini cenderung disertai respon terhadap perilaku, emosional, dan fisiologi. Individu yang mengalami masalah gangguan kecemasan dapat memberikan perilaku yang tidak lazim seperti panik tiba-tiba tanpa alasan, ketakutan tidak beralasan terhadap suatu objek atau kejadian, melakukan tindakan yang tidak terkendali secara berulang-ulang, selalu mengingat peristiwa yang menyebabkan traumatik, atau rasa khawatir yang tidak jelas dan berlebihan. Pada beberapa kasus langka, banyak individu yang memperlihatkan salah satu dari perilaku tidak lazim sebagai respons normal terhadap kecemasan.
Terdapat perbedaan antara respon kecemasan yang tidak lazim dengan gangguan kecemasan yaitu, respons kecemasan yang tidak lazim sangatlah berat sehingga dapat mengganggu kinerja individu, kehidupan keluarga dan gangguan sosial (Kaplan, H. I., dkk, dalam Chandratika, D. D. & Purnawati, S., 2014 ).
Dengan kata lain, kecemasan ialah situasi dan keadaan yang mengancam seperti konflik, yang mengakibatkan rasa cemas hingga stres dan rasa khawatir saat berada di lingkungan luar. Terkadang perasaan itu berubah menjadi amarah atau perasaan takut yang bertentangan dengan apa yang dilakukan. Dengan demikian, munculah beberapa faktor anxiety disorder seperti faktor sosial (lingkungan), faktor biologi (genetika atau bawaan), faktor psikologi (kepribadian / pola asuh).
Dari beberapa kasus yang telah terjadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat beberapa gejala dan tanda-tanda dari gangguan kecemasan. Menurut Hawari (2011 : 67), gejala yang sering dialami oleh individuu yang mengalami gangguan kecemasan antara lain adalah : Cemas, khawatir, firasat yang tidak baik, khawatir terhadap pikirannya sendiri, dan gampang tersinggung, merasa tegang dan mudah terkejut, takut kesepian, namun takut pada keramaian dan orang banyak, pola tidur yang tidak teratur, mimpi buruk, menurunnya konsentrasi, dan daya ingat, keluhan somatik, seperti rasa sakit pada otot dan tulang, pendengaran berdenging (tinitus), denyut jantung meningkat, sesak nafas, gangguan pencernaan, serta sakit kepala yang terus menerus.
Remaja merupakan fase yang sangat mudah dan berisiko mengalami gejala dan sindrom gangguan kecemasan yang meliputi gejala-gejala ringan hingga gejala yang berat. Mahasiswa adalah objek muda yang paling sering mengalami gangguan kecemasan yang di mana salah satu faktor penyebabnya adalah akibat dari psikososial. Dimana mahasiswa merespon secara tidak akurat terhadap stressor misalnya terhadap situasi lingkungan yang baru. Ketidakakuratan respon tersebut juga bisa disebabkan oleh sikap selektif terhadap setiap detail negatif sebuah lingkungan, dan pandangan negatif tentang kemampuan untuk mengatasi stressor.
Mahasiswa dengan tingkat perubahan adaptif dan stressor berbeda akan memiliki tingkat kecemasan yang berbeda pula. Mahasiswa semester satu harus beradaptasi terhadap lingkungan baru yang mengalami perubahan signifikan dari masa SMA ke jenjang kuliah. Sehingga akan mengalami tingkat stress yang lebih tinggi, yang akan memicu rentannya terkena gangguan kecemasan. Selain itu mahasiswa semester satu juga harus bisa beradaptasi dengan tugas-tugas yang pastinya sangat berbeda dengan masa SMA.
Contohnya pada saat memasuki waktu ujian, mahasiswa semester satu akan mengalami culture shock terhadap tugas-tugas ujian seperti membuat makalah, mereview jurnal, membuat essay dan lain-lain. Hal ini akan memicu mahasiswa mengalami gangguan kecemasan. Pendapat ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Nelwati yang di mana ia menemukan bahwa mahasiswa akan mengalami stres baik pada saat sebelum waktu ujian maupun saat ujian berlangsung. Dalam hal ini terjadi stresor utama yaitu tekanan akademis yang dapat menyebabkan kecemasan pada mahasiswa yang akan menjadi penghambat dalam mencapai prestasi akademik yang optimal (Nelwati, 2012).
Gangguan kecemasan dapat mempengaruhi proses belajar mengajar pada mahasiswa karena pada dasarnya gangguan ini akan membuat seseorang mengalami distorsi dalam memproses informasi. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam memusatkan perhatian, menurunkan daya ingat dan masih banyak lagi. Sehingga penderita akan cenderung untuk mencari obat penenang untuk mengatasi rasa cemasnya (Kaplan, H.I., dkk, dalam Chandratika, D. D. & Purnawati, S., 2014).
Tidak ada komentar